Beruntung sekali kita yang masih dapat mengisi hari dengan berbagai kegiatan di sekolah atau bermain basket bersama teman seusai belajar. Karena ternyata tidak semua anak-anak dapat mencicipi kesempatan seperti itu setiap harinya. Ada sekitar 250 juta teman kita di seluruh dunia yang harus melewati hari mereka dengan kerja keras seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang dewasa.
Dan pekerjaan yang mereka lakukan itu jauh sekali dari suasana enak dan nyaman seperti yang selalu kita cita-citakan. Sekitar 80 juta teman kita itu tadi bekerja di dunia kelam yang adanya jauh sekali di impian kita. Dunia bagi mereka tidaklah seindah seperti yang didongengkan di buku-buku cerita. Pantai dan lautnya yang biru damai nggak ubahnya seperti dunia yang ganas dan kejam bagi mereka. Kok bisa? Maksudnya kok bisa mereka memilih kehidupan seperti itu? Mari kita tengok dulu deh sejenak dunia teman-teman kita yang tersisihkan ini untuk sekedar mengingatkan betapa masih beruntungnya kita dengan kondisi yang ada saat ini.
Setelah berbulan-bulan lamanya bekerja sebagai buruh anak di sebuah dermaga penangkapan ikan di tengah laut, Sudarnoso sudah nggak bisa menahan rindu lagi untuk bisa pulang ke daratan dan berkumpul lagi bersama kedua orangtuanya. Mereka adalah keluarga miskin yang tinggal di sebuah desa kecil di daerah Sumatera. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya Sudarsono ketika sekembalinya dari perantauan dia melihat rumahnya telah lama kosong.
"Orang tua saya pindah sewaktu saya sedang bekerja di laut," tutur Sudarsono yang sekarang tinggal bersama pamannya. "Saya nggak tahu kenapa mereka pindah. Saya sudah nggak bicara lagi dengan mereka selama tujuh tahun, sejak saya pergi bekerja."
Terbelit oleh suasana kemiskinan yang amat parah, memaksa ribuan anak seperti teman kita Sudarsono ini untuk bekerja di berbagai pabrik ikan yang banyak dibangun di sepanjang dermaga laut Indonesia. Di sana setiap harinya mereka diharuskan untuk menangkap ikan sekaligus membersihkan dan merebusnya tanpa henti di tengah sengatan panas matahari. Pemandangan di sekeliling mereka bukanlah laut biru yang damai tapi kesibukan para pemuda memutar angkat jaring raksasa penuh muatan ikan dari dalam laut. Ketika malam tiba, teman-teman pelaut kita tadi tidur di dalam sebuah depot besi yang sudah berkarat di lantai bawah dermaga yang dikelilingi air laut. Mirip seperti pemandangan di film Waterworld-nya Kevin Costner.
"Bekerja di jermal sangat panas dan berat, pokoknya ngeri," kata Sudarsono yang bekerja 12 jam setiap harinya selama tujuh bulan tanpa henti. "Saya nggak suka kalau gelombang laut, angin dan badai datang. Saya takut kalau-kalau jermalnya akan roboh, soalnya goyangannya kuat sekali."
Dan untuk jerih payahnya di bawah sengatan matahari selama tujuh bulan itu, Sudarsono hanya dibayar kurang lebih 90.000 rupiah perbulannya. Ini masih dibilang beruntung, karena sepertiga dari teman senasibnya harus pulang dengan tangan kosong, bahkan ada yang cuma membawa luka di seluruh badan. Ngeri banget kan?
"Pernah sekali waktu saya sedang memanggang ikan, saya sudah nggak kuat lagi pegang panggangannya. Waktu saya lepas, panggangannya mengenai lengan saya," papar Sudarsono. "Saya kena beberapa luka bakar."
Teman Sudarsono lainnya ada yang harus merelakan jarinya. Sebagian lainnya harus menerima sengatan binatang laut yang kebetulan ikut tersaring di jaring.Yang lebih mengerikan lagi adalah nggak adanya pengobatan yang memadai buat mereka yang terluka parah ini. Paling mereka hanya minum aspirin sekedar untuk menghilangkan rasa sakit dan demam. Kalau obatnya tidak mempan lagi, mau nggak mau mereka harus menelan sendiri rasa sakit itu.
Karena nggak kuat lagi, banyak teman Sudarsono yang mencoba untuk kabur, tapi ujungnya harus bernasib tragis termakan ombak besar. Tanpa pelampung, mereka rela menceburkan diri ke laut lepas dan berenang ratusan kilo untuk menyelamatkan diri. Sedang yang lain memilih untuk tinggal, tidak lebih karena merasa takut untuk mengarungi ombak laut yang besar, seperti teman kita lainnya yang bernama Yuliagi ini. Ia, mau nggak mau, terpaksa harus tetap tinggal biarpun kondisi menjadikannya nggak lebih dari seorang tawanan di tengah laut.
"Saya sedih karena setiap hari harus kerja terus," kata Yuliagi, yang saat ini masih tinggal di depot besi bawah dermaga. "Tapi bos saya bilang kalau saya nggak bisa pulang. Saya akan ditangkap lagi dan dikirim ke pabrik ikan yang lainnya."
Sementara Yuliagi berjuang mempertahankan hidupnya di tengah laut, teman kita Sudarsono termasuk beruntung bisa pulang ke rumah dengan selamat, lepas dari ancaman ombak laut yang ganas atau bentakan para mandor. Namun, kesedihan ditinggal orang tuanya yang selama ini selalu ia rindukan masih terus menyiksa hatinya.
"Saya rindu orang tua saya dan ingin kumpul lagi dengan mereka," kata Sudarsono. "Saya sedih sekali karena nggak tahu kemana harus menyusul."
Itulah sepenggal kisah tentang teman-teman kita yang menjadi buruh pabrik ikan di dermaga tengah laut. Kalau ada kesempatan tentu mereka akan senang sekali untuk bisa bersekolah. Kalau saja mereka bisa membaca, menulis dan memiliki keterampilan lainnya pasti mereka tidak akan mau menjadi buruh kasar di tengah laut. Tapi itulah yang terjadi dan dengan kemampuan yang dimiliki sekarang, susah untuk bisa keluar dari kemiskinan dan kebodohan yang menimpa mereka. Di sinilah uluran tangan kita sangat diperlukan untuk menolong mereka.
Dan pekerjaan yang mereka lakukan itu jauh sekali dari suasana enak dan nyaman seperti yang selalu kita cita-citakan. Sekitar 80 juta teman kita itu tadi bekerja di dunia kelam yang adanya jauh sekali di impian kita. Dunia bagi mereka tidaklah seindah seperti yang didongengkan di buku-buku cerita. Pantai dan lautnya yang biru damai nggak ubahnya seperti dunia yang ganas dan kejam bagi mereka. Kok bisa? Maksudnya kok bisa mereka memilih kehidupan seperti itu? Mari kita tengok dulu deh sejenak dunia teman-teman kita yang tersisihkan ini untuk sekedar mengingatkan betapa masih beruntungnya kita dengan kondisi yang ada saat ini.
Setelah berbulan-bulan lamanya bekerja sebagai buruh anak di sebuah dermaga penangkapan ikan di tengah laut, Sudarnoso sudah nggak bisa menahan rindu lagi untuk bisa pulang ke daratan dan berkumpul lagi bersama kedua orangtuanya. Mereka adalah keluarga miskin yang tinggal di sebuah desa kecil di daerah Sumatera. Bisa dibayangkan bagaimana sedihnya Sudarsono ketika sekembalinya dari perantauan dia melihat rumahnya telah lama kosong.
"Orang tua saya pindah sewaktu saya sedang bekerja di laut," tutur Sudarsono yang sekarang tinggal bersama pamannya. "Saya nggak tahu kenapa mereka pindah. Saya sudah nggak bicara lagi dengan mereka selama tujuh tahun, sejak saya pergi bekerja."
Terbelit oleh suasana kemiskinan yang amat parah, memaksa ribuan anak seperti teman kita Sudarsono ini untuk bekerja di berbagai pabrik ikan yang banyak dibangun di sepanjang dermaga laut Indonesia. Di sana setiap harinya mereka diharuskan untuk menangkap ikan sekaligus membersihkan dan merebusnya tanpa henti di tengah sengatan panas matahari. Pemandangan di sekeliling mereka bukanlah laut biru yang damai tapi kesibukan para pemuda memutar angkat jaring raksasa penuh muatan ikan dari dalam laut. Ketika malam tiba, teman-teman pelaut kita tadi tidur di dalam sebuah depot besi yang sudah berkarat di lantai bawah dermaga yang dikelilingi air laut. Mirip seperti pemandangan di film Waterworld-nya Kevin Costner.
"Bekerja di jermal sangat panas dan berat, pokoknya ngeri," kata Sudarsono yang bekerja 12 jam setiap harinya selama tujuh bulan tanpa henti. "Saya nggak suka kalau gelombang laut, angin dan badai datang. Saya takut kalau-kalau jermalnya akan roboh, soalnya goyangannya kuat sekali."
Dan untuk jerih payahnya di bawah sengatan matahari selama tujuh bulan itu, Sudarsono hanya dibayar kurang lebih 90.000 rupiah perbulannya. Ini masih dibilang beruntung, karena sepertiga dari teman senasibnya harus pulang dengan tangan kosong, bahkan ada yang cuma membawa luka di seluruh badan. Ngeri banget kan?
"Pernah sekali waktu saya sedang memanggang ikan, saya sudah nggak kuat lagi pegang panggangannya. Waktu saya lepas, panggangannya mengenai lengan saya," papar Sudarsono. "Saya kena beberapa luka bakar."
Teman Sudarsono lainnya ada yang harus merelakan jarinya. Sebagian lainnya harus menerima sengatan binatang laut yang kebetulan ikut tersaring di jaring.Yang lebih mengerikan lagi adalah nggak adanya pengobatan yang memadai buat mereka yang terluka parah ini. Paling mereka hanya minum aspirin sekedar untuk menghilangkan rasa sakit dan demam. Kalau obatnya tidak mempan lagi, mau nggak mau mereka harus menelan sendiri rasa sakit itu.
Karena nggak kuat lagi, banyak teman Sudarsono yang mencoba untuk kabur, tapi ujungnya harus bernasib tragis termakan ombak besar. Tanpa pelampung, mereka rela menceburkan diri ke laut lepas dan berenang ratusan kilo untuk menyelamatkan diri. Sedang yang lain memilih untuk tinggal, tidak lebih karena merasa takut untuk mengarungi ombak laut yang besar, seperti teman kita lainnya yang bernama Yuliagi ini. Ia, mau nggak mau, terpaksa harus tetap tinggal biarpun kondisi menjadikannya nggak lebih dari seorang tawanan di tengah laut.
"Saya sedih karena setiap hari harus kerja terus," kata Yuliagi, yang saat ini masih tinggal di depot besi bawah dermaga. "Tapi bos saya bilang kalau saya nggak bisa pulang. Saya akan ditangkap lagi dan dikirim ke pabrik ikan yang lainnya."
Sementara Yuliagi berjuang mempertahankan hidupnya di tengah laut, teman kita Sudarsono termasuk beruntung bisa pulang ke rumah dengan selamat, lepas dari ancaman ombak laut yang ganas atau bentakan para mandor. Namun, kesedihan ditinggal orang tuanya yang selama ini selalu ia rindukan masih terus menyiksa hatinya.
"Saya rindu orang tua saya dan ingin kumpul lagi dengan mereka," kata Sudarsono. "Saya sedih sekali karena nggak tahu kemana harus menyusul."
Itulah sepenggal kisah tentang teman-teman kita yang menjadi buruh pabrik ikan di dermaga tengah laut. Kalau ada kesempatan tentu mereka akan senang sekali untuk bisa bersekolah. Kalau saja mereka bisa membaca, menulis dan memiliki keterampilan lainnya pasti mereka tidak akan mau menjadi buruh kasar di tengah laut. Tapi itulah yang terjadi dan dengan kemampuan yang dimiliki sekarang, susah untuk bisa keluar dari kemiskinan dan kebodohan yang menimpa mereka. Di sinilah uluran tangan kita sangat diperlukan untuk menolong mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar